Article Detail

KURIKULUM 2013 SUSAH DITERAPKAN

(Oleh: Welly Hadi Nugroho Seran, S. Pd.
Telah dimuat di KOMPAS, 7 Oktober 2014)

KURIKULUM 2013 bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar sejajar dengan negara lain. Apalagi hasil Programme for International Student Assessment mengindikasikan bahwa kiblat pendidikan bukan lagi ke negara-negara di Eropa, tetapi beralih ke negara-negara di kawasan Asia, seperti Tiongkok dan Singapura.

Sayangnya, pendidikan di Indonesia justru stagnan, bahkan menurun kualitasnya. Hasil studi terbaru Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan, Indonesia hanya mampu menduduki posisi ke-61 dari 65 negara peserta PISA untuk kategori matematika.

Berkaca dari hasil PISA, pemerintah berupaya meningkatkan daya saing melalui Kurikulum 2013 yang didesain agar peserta didik lebih terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Kurikulum 2013 mengharapkan adanya keseimbangan antara kemampuan kognitif dengan sikap dan keterampilan peserta didik. Muaranya adalah sumber daya manusia yang cerdas dan berakhlak mulia.

Kurikulum 2013 memberikan kebebasan kepada peserta didik memperkaya pengetahuan dari berbagai sumber, seperti buku, internet, dan lingkungan sosial masyarakat. Peran guru dalam Kurikulum 2013 hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran agar target tercapai. Harapannya adalah para peserta didik meningkat kemampuannya di bidang sains, matematika, dan membaca.

Pengembangan Kurikulum 2013 sangat kontekstual dan perlu untuk peningkatan kualitas pendidikan. Namun, ketika Kurikulum 2013 diterapkan, berbagai hambatan dihadapi akibat kurangnya persiapan dan keseriusan pemerintah.

Hambatan di lapangan

Ada kekeliruan pola pikir dalam penerapan Kurikulum 2013, yakni kurikulum diterapkan terlebih dahulu, kemudian guru dipaksa menyesuaikan diri. Jika pemerintah serius, seharusnya para guru dipersiapkan terlebih dahulu. Hampir mustahil bagi para guru menerapkan Kurikulum 2013 secara utuh tanpa mendapat pembekalan.

Cara pemerintah dalam menyosialisasikan Kurikulum 2013 yang seadanya membuat penerapan di lapangan menjadi tidak efektif. Bayangkan, para guru hanya diberi pelatihan satu dua hari. Pelatihan pun hanya kepada para guru yang dianggap kompeten yang nantinya dapat meneruskan ke sekolah masing-masing.

Sampai saat ini, pemerintah belum mampu memenuhi janjinya terkait pengadaan buku dan infrastruktur penunjang lainnya dalam penerapan Kurikulum 2013.

Janjinya, buku Kurikulum 2013 akan disediakan pemerintah dan dibagikan gratis di sekolah-sekolah penerima bantuan operasional sekolah. Kenyataannya, buku tak kunjung datang, sementara kegiatan belajar-mengajar harus segera dilaksanakan. Guru harus mengunduh buku pelajaran dari internet dan sekolah terpaksa bekerja sama dengan penerbit lokal untuk pengadaan buku Kurikulum 2013, dan orangtua peserta didik dibebani biayanya.

Inilah yang saya maksudkan bahwa Kurikulum 2013 kontekstual dalam pengembangan, tetapi tidak dalam terapan. Dunia pendidikan Indonesia memang membutuhkan terobosan, seperti Kurikulum 2013, untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik. Akan tetapi, proses sosialisasi dan pemenuhan fasilitas pembelajaran harus dilakukan di seluruh Indonesia.

Kompetensi

Dalam rumusan kurikulum sebelumnya terjalin integrasi antara standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Kompetensi dasar dan indikator merupakan prasyarat yang harus dikuasai peserta didik untuk dapat mencapai standar kompetensi yang diharapkan dari setiap mata pelajaran.

Pada Kurikulum 2013 standar kompetensi berubah menjadi kompetensi inti. Setiap mata pelajaran hanya memiliki empat kompetensi inti yang meliputi aspek religiusitas, sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Ketika Kurikulum 2013 diterapkan, banyak guru masih memfokuskan kegiatan pembelajaran pada aspek pengetahuan (KI-3) dan keterampilan (KI-4), sementara aspek religiusitas (KI-1) dan sikap (KI-2) masih kurang mendapatkan perhatian. Apa bedanya Kurikulum 2013 dengan kurikulum sebelumnya apabila aspek yang ditekankan hanya pada pengetahuan dan keterampilan?

Hal lain yang juga masih mengusik sebagian guru terkait penerapan Kurikulum 2013 adalah masalah penilaian. Dalam aktivitas pembelajaran di kelas hanya tiga aspek yang dinilai, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Hal ini tentu membingungkan, karena pada rumusan kompetensi inti ada empat kompetensi inti yang harus dicapai dan dievaluasi. Namun, dalam penilaian mengerucut menjadi tiga aspek, dan penilaian aspek religiusitas ditumpangtindihkan dengan penilaian sikap. Padahal, antara religiositas dan perilaku merupakan dua hal yang berbeda.

Entah mengapa kompetensi inti untuk aspek religiositas seperti dipaksakan harus ada, padahal sangat sulit untuk menilai tingkat keimanan seseorang. Bagaimana merumuskan indikator untuk aspek religiositas? Instrumen apa yang harus digunakan untuk menilai tingkat keimanan siswa? Hal-hal seperti ini mestinya mendapat penjelasan lebih lanjut dari pemerintah agar tidak terjadi kesalahan aplikasi di lapangan.

Penerapan Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan ilmiah yang disebut pendekatan saintifik. Ini pun tak sepenuhnya dipahami oleh sebagian guru sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Model pembelajaran dengan pendekatan saintifik mengarahkan peserta didik untuk aktif mengamati, bertanya, mengumpulkan informasi, mengomunikasikan, dan mencipta.

Apakah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam implementasi Kurikulum 2013 sudah sesuai dengan konstruksi tersebut? Jawabannya tentu tidak. Fakta menunjukkan bahwa para guru masih sulit meninggalkan model pembelajaran teacher center, para guru masih mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas.

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment